AWAYDAYS MOVIE

AWAYDAYS

Film ini sesunguhnya lebih menitik beratkan para pencarian jati diri para Hooligans

Penggemar sepak bola terkenal sebagai penggemar yang fanatik. Segala hal dilakukan demi mendukung tim sepak bola favorit. Dari dukungan yang berlebihan itu, maka tak jarang di setiap pertandingan sepak bola, sering terjadi kerusuhan. Pendukung fanatik tim A bentrok dengan suporter tim B.

Kerusuhan usai pertandingan sepak bola bukan pemandangan baru lagi bagi kita di Indonesia. Misalnya saja Persija berhasil ditekuk oleh Arema Malang. Maka siap-siap setelah pertandingan berakhir, The Jack Mania (sebutan untuk pendukung Persija) dan Arema Mania akan kontak fisik di luar lapangan. Awalnya saling mengejek, lalu saling pukul dan berujung pada aksi bakar-bakaran fasilitas umum.

Itu di Indonesia dengan budaya sepak bola yang cukup kuat. Lantas bagaimana dengan di Inggris? Di negara yang melahirkan tim sepak bola terkuat di dunia ini juga tak jauh berbeda dengan di Indonesia. Malahan, penggemar fanatik Inggris begitu terkenal di seluruh dunia dengan sebutan Hooligans. Indonesia bisa jadi kalah brutal dengan para Hooligans. Jika kerusuhan sehabis pertandingan sepak bola paling parah adalah bakar-bakaran fasilitas umum, maka di Inggris hingga mengorbankan nyawa.

Berangkat dari kisah para Hooligans itu, film Awaydays dibuat. Cerita para brutalisme para Hooligans ini diambil dari buku karangan Kevin Sampson dengan judul serupa di tahun 1998. Setalah penantian satu dekake, buku laris Sampson itu akhirnya diangkat ke layar lebar oleh Pat Holden pada tahun 1998.

Awaydays tak semata-mata film tentang kebringasan para fans berat Inggris- namun di film ini difokuskan para penggemar fanatik klub sepak bola Liverpool. Film ini sesunguhnya lebih menitikberatkan para pencarian jati diri para Hooligans. Pengakuan terhadap keberadaan dirinya di dalam suatu kelompok. Pembuktian diri para hooligans yang rata-rata berumur remaja.

Awaydays berlatar tahun 1979. Tahun di kala Inggris sedang mengalami perubahan besar-besaran, baik dari sosial maupun ekonomi. Inggris saat itu tengah dilanda resesi. Namun di sisi lain bidang musik, fashion dan sepak bola tengah berkembang pesat.

Di Mereyside, bagian Utara Inggris, kita diperkenalkan oleh Paul Carty. Remaja berumur 19 tahun yang bekerja di sebuah biro pelayanan publik. Tinggal bersama ayah dan adik perempuannya. Carty terobsesi untuk masuk dalam kelompok Hooligans yang menamai diri sebagai The Pack pimpinan John.

Saat Carty putus asa karena usahanya untuk bergabung dengan para Hooligans itu gagal, ia bertemu dengan Elvis. Elvis adalah anggota The Pack. Keduanya bertemu di sebuah pertunjukan musik bawah tanah Echo & the Bunnymen. Selanjutnya Carty bergabung dengan geng tersebut dan membuktikan jika dia bisa bertindak lebih brutal dari yang diharapkan.
Carty pun mulai rutin ikut kegiatan rusuh geng The Pack. Dan menjadi salah satu anggota kebanggan John. Sementara Carty makin kecanduan melakukan aksi brutal, ketergantungan Elvis akan obat-obatan terlarang justru semakin menjadi.

Awalnya, Elvis ingin melarikan diri dari kebiasaan buruknya mengonsumsi obat-obatan dan pindah ke Berlin. Namun Elvis justru semakin terjeblos dalam narkotika yang ia gunakan untuk menghilangkan depresi dan mengusir “perasaan”-nya terhadap Carty.

Dari awal, Elvis sudah memperingatkan Carty jikalau tidak ada hal positif bergabung dalam The Pack. Namun Carty bersikukuh dan kini semakin sulit melepaskan diri dari The Pack. Semenjak bergabung di The Pack, Carty kehilangan waktu bersama adik perempuannya, Molly. Namun, di sisi lain ada kepuasan setiap kali Carty beraksi bersama The Pack dan mengalahkan Hooligans klub lainnya. Kita bisa berasumsi menjadi bagian dari The Pack membuat Carty merasa menjadi pria sejati.

Musik dan Fesyen

Selama 105 menit menyaksikan film ini, kita hanya disuguhi sekitar 20 detik adegan permaian bola. Selebihnya kita kenyang ditampilkan adegan kekerasan. Berkelahi, saling menusuk dengan Pisau Stanley. Kontak fisik antara The Pack dengan hooligans klub lainnya (dan uniknya The Pack selalu menang dalam kerusuhan itu)

Namun kekerasan bukan sorotan utama di film ini. Awaydays lebih dari itu. Ini adalah film tentang kisah remaja yang memasuki jenjang baru dalam kehidupannya; menjadi dewasa. Dari karakter Carty dan Elvis, kita bisa belajar banyak psikologi remaja yang menuju kedewasaan di masa itu.

Awaydays juga menampilkan kultur fesyen kasual sepak bola yang mulai berkembang di masa itu. Jumper atau jaket-jaket kasual menggantikan jas panjang. Pantofel mulai ditinggalkan dan digantikan oleh sepatu keds yang keren. Bisa dibilang ini adalah representasi terbaik dari kultur fesyen kasual sepak bola di layar lebar. Detail-detail pengambilan gambar fesyen begitu apik. Zoom in pada sepatu dan jaket para tokoh di Awaydays ingin menegaskan kasualitas yang ada saat itu.

Dan jangan melupakan musik yang begitu mengentak di sepanjang film ini. Musik dari band-band masa itu yang berdenyut setiap kali adegan kekerasan terjadi. The Cure, Echo And The Bunnymen dan joy Division adalah pilihan yang tepat untuk mengisi latar suara Awaydays. Ini salah satu nilai positif lainnya dari Awaydays disamping adegan kekerasan yang tidak mampu membuat kita simpati terhadap film ini.

Awaydays merupakan salah satu film yang disumbangkan oleh British Council untuk ajang Festival Film Eropa atau Europe On Screen 2009. Sayangnya, film ini hanya dputar sekali di Bandung pada tiga November 2009 dengan pertimbangan biaya yang cukup tinggi untuk mendatangkan film yang baru rilis Mei 2009 lalu.

Meskipun film ini tidak memberikan contoh yang baik dan cenderung kurang layak ditonton remaja, namun Awaydays berhasil meraih penghargaan sebagai Best Feature Film dan Fringe Report Award tahun 2009.


Yang mau lihat, silahkan...
New dawn Fades

adidas Originals promo video for Away Days Film - scotts

 

0 comments:

Post a Comment